Langsung ke konten utama

Ketika Cak Nur “Mampir” di Kampung Saya

Ketika Cak Nur “Mampir” di Kampung Saya. Kamu pantas sering belajar kepada mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka memakai berita terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan termulia intern membaca share terbaru.Oleh: Ulil Abshar Abdalla,
Wartaislami.com ~ Mungkin banyak yang mengira ane menginjak mengembangkan pendekatan liberal intern memahami Islam sejak sekolah di Amerika. Dugaan ini keliru sama sekali. Saya sudah mencicil liberalisme pemikiran sejak awal, saat ane masih belajar di sebuahpesantren kecil di desa Cebolek, Pati.

Dan itu bertaut memakai figur besar yang barubertahun-tahun kemudian bisa ane jumpai secara pribadi. Yakni Nurcholish Madjid aka Cak Nur.Ini semua bermula pada 1984. Itu tahun penting intern formasi pemikiran ane. Pada tahun itu sebuah event penting berlangsung diSitubondo, Jawa Timur. YaituMuktamar NU ke-27. Muktamar ini bukan saja seperti “turning point” intern sejarah NU seperti sebuah kelompok sosial. Tetapi juga paruh ane secara pribadi.Di muktamar inilah sosok besar yang bukan main mempengaruhi formasi pemikiran ane, yaitu Abdurrahman Wahid aka GusDur, terpilih seperti Ketua Umum PBNU.
Peristiwa ini dielu-elukan seperti “defining moment” intern sejarah NU. Gus Dur dianggap sosok muda yang membawa badai segar paruh NU.Figur Gus Dur sudah menginjak ramai dibicarakan sejak separuh tahun sebelumnya.Sejak 1983, saat ane masih duduk di Madrasah Aliyah Mathaliul Falah Kajen, Pati, ane sudah menginjak mengikuti memakai penuh minat pemikiran atau pernyataan Gus Dur, baik di koran maupun di majalah. Akses ane ke Gus Dur saat itu setara lewat Kompas, Tempo atau Jurnal Prisma.Ketertarikan ane pada Gus Dur membawa ane berkenalan juga memakai pemikiran-pemikiran intelektual Muslim lain seperti Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Jalaludddin Rakhmat, dll.
Dengan penuh antusiasme, ane memburu setiap yang ditulis atau dikatakan oleh Gus Dur atau Cak Nur di media massa. Saya tak pernah lupa laporanutama yang ditulis oleh Majalah Tempo berkenaan kiprah atau pemikiran Cak Nur. Judul laporan itu: Lokomotif Pembaharuan Islam. Kalau tak salah, edisi itu keluar pada 1984, separuh saat selepas Cak Nur kembali ke tanah larutan selepas sekian tahun belajar di University of Chicago. Salah satu bagian intern laporan itu yang terus menempel intern ingatan ane sampai waktu ini adalahfoto Cak Nur di kediaman pribadinya, dikepung memakai ribuan buku atau kitab.Sebagai putra kampung dari keluarga miskin, ane takjub bukan main: Bagaimana menyandang koleksi buku atau kitab sebanyak itu? Berapa biaya yang dibutuhkan? Tak ada perpustakaan yang memadai di sekolah ane saat itu.Laporan Tempo itu langsung mendapatkan tanggapan pro-kontra. Ada polemik yangcukup panjang di sana yang melibatkan sejumlah pemikir/penulis.
Ada Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Gus Dur, Jalaluddin Rakhmat, Daoed Joesoef, atau Cak Nur sendiri. Saya bukan main menikmati polemik itu.Saya foto kopi seluruh kolompara penulis yang terlibat intern polemik. Saya simpan.Saya baca berulang-ulang. Saya butuh membacanya berkali-kali sebelum mengertibenar maksud para penulisnya. Nalar ane saat itu masih terlalu sederhana kepada bisa memahami kompleksitas pemikiran pembaharuan Islam.Usai menamatkan pendidikan di madrasah Aliyah, ane diminta membimbing di sebuah sekolah di desa ane.
Saya menerimagaji pertama seperti guru desa pada 1985 sebesar Rp. 12.500. Hal pertama yang ane lakukan usai memungut uang yang tak seberapa itu setara bertolak ke kota Pati. Saya pergi ke Toko Buku Puas milik seorang pedagang Arab.Ada satu buku yang ane incar: Khazanah Intelektual Islam terbitan Bulan Bintang, penerbit yang mewarisi sejarah Masyumi. Buku itu disunting oleh Cak Nur. Ia menulis sebuah pengantar yang bukan main panjang di sana mengenai asal-usul sekte Ahlussunnah wal Jamaah, berkenaan kemajuan peradabanIslam di masa lampau, serta sebab-sebab keruntuhannya.Tulisan itu benar-benar seperti percikan nyala yang membakar rasa ingin tahu ane. Sekaligus juga membuka indra penglihat ane.Buku itu masih ane simpan sampai waktu ini kepada mengenang momen yang bukan main bersejarah: momen ketika ane merasa terbuka atau mengalami fase “akil balig intelektual”. Katakan saja: A Buddha moment!Pada 1984, ada peristiwa lainyang selalu ane kenang. Itulah tahun ketika Jurnal Prisma menerbitkan edisi khusus mengenai pemikiran Islam. Gus Dur, Cak Nur, Amin Rais, Awad Bahasoan, Arif Mudatsir, dll. menulis di sana. Ada juga wawancara memakai Syafii Maarif. Saya mendapatkan edisi ini berkat pinjaman guru ane di madrasah Aliyah yang, kebetulan, seperti pelanggan tetap Jurnal Prisma.Sejak berkenalan memakai pemikiran Cak Nur atau Gus Dur itu, ane seperti masuk intern sebuah tualang pemikiran yang tak boleh jadi balik lagi.
Saya seperti pelautyang memakai penuh gelora berlayar di samudera luas: samudera pemikiran Islam yang luar biasa kaya atau memikat. Semua itu dimungkinkan gara-gara ane berkenalan memakai Cak Nur.Andai Cak Nur tak “mampir” di kampung ane lewat Tempo, Kompas, atau Jurnal Prisma, boleh jadi jalan hidup ane mau lain sama sekali. Saya merasa bersyukur bahwa intern hidup ini ane pernah berkenalan memakai dua pendekar pemikiran Islam yang luar biasa: Gus Dur atau Cak Nur.Saat lebaran dua tahun lalu ane berkunjung ke rumah Cak Nur.
Saya langsung minta izin kepada isteri Cak Nur, Mbak Omi, kepada menjenguk koleksi buku-bukunya. Saya ingin melihat “first hand” koleksi buku yang dulu pernah nongol di majalah Tempo atau memukau ane seperti santri desa. Melihat buku-buku Cak Nur di ruangan perpustakaan pribadinya itu, ane seperti mengalami déjà vu. Saya mengalami “excitement” yang luar biasa.Cak Nur wafat persis sehari sebelum ane berangkat kuliah ke Boston pada 29 Agustus 2005. Hari ini adalahhaul ke-10 tokoh yang ane kagumi itu. Saya merasa bangga pernah berpapasan atau berkenalan memakai tokoh besar ini. Dia setara “game changer” intern hidup ane. Alfatihah…
Sumber : santrionline.net

Source Article and Picture : www.wartaislami.com





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bertawasul ke Imam al-Ghazali, Barang Hilang Pun Ketemu

Bertawasul ke Imam al-Ghazali, Barang Hilang Pun Ketemu . Kamu wajar sering belajar bakal mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka menggunakan kabar terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan unggul internal membaca share terbaru. Seorang pemuda asal Tegal berusia kira-kira 36 tahun, sebutlah namanya Udin (nama samaran), hari itu sedang dilanda kebingungan. Di saat usaha membuka warung sembako yang dirintis bersama istrinya belum benar-benar stabil serta menunjukkan perkembangan yang berarti, tiba-tiba sejumlah uang yang selama ini mereka kumpulkan dari hasil berdagangnya itu hilang entah di mana. Padahal Udin belum punya rumah sendiri, melainkan masih ikut tinggal di rumah mertuanya di Cirebon. Sebab utama kebingungan Udin sebenarnya bukan karena uangnya yang hilang. Tetapi lantaran ia masih tinggal seatap menggunakan mertuanya, tentu saja orang tua istrinya itu mempersoalkan serta menyayangkan untuk kejadian hilangnya uang tersebut. Apa

Inilah Sejarah Awal Mula di Lagukannya Al Qur'an (Langgam)

Inilah Sejarah Awal Mula di Lagukannya Al Qur'an (Langgam) . Kamu perlu sering belajar hendak mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka beserta penerangan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan jempolan intern membaca share terbaru. Wartaislami.Com ~ Kognisi atau psikomotorik umat Islam terhadap nagham kagak selazim ilmu tajwid. Kata nagham secara etimologi paralel beserta kata ghina yang bermakna lagu atau irama. Secara terminologi nagham dimaknai bagaikan membaca Al Quran beserta irama (seni) atau suara yang indah atau merdu atau melagukan Al Quran secara baik atau benar tanpa melanggar aturan-aturan bacaan. Keberadaan ilmu nagham, kagak sekedar realisasi dari firman Allah intern suroh Al Muzzammil ayat 4,”Bacalah Al Quran itu secara tartil”, hendak tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia bagaikan makhluk yang berbudaya yang menyandang cipta, rasa, atau karsa. Rasa yang melahirkan seni (juga nagham)

Inilah Sejarah Ucapan Penutup Pidato "Wabillahi Taufiq wal Hidayah"

Inilah Sejarah Ucapan Penutup Pidato "Wabillahi Taufiq wal Hidayah" . Kamu wajib sering belajar bakal mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka pada penerangan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan unggul intern membaca share terbaru. Wartaislami.Com ~ Saat menghadiri peringatan hari lahir (Harlah) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ke-46, Gus Dur diminta bakal memberikan pendahuluan oleh panitia. Setelah berbicara panjang lebar, serta hendak menutup pidatonya, Gus Dur tanpa disadari bakal mengucapkan kalimat "wabillahi taufiq wal hidayah", tapi tiba-tiba ia diam sejenak.... "Saya kok mau salah menyampaikan salam penutup, harusnya kan yang khas NU," ujarnya. "Dulu ulama-ulama NU, sepakat menggunakan wabillahi taufiq wal hidayah bakal ucapan penutup serta Nahdliyiin wajib mengikuti. Tapi sesudah musim kampanye pemilu tahun 70-an, Golkar memakai ucapan itu bakal menutup setiap pidato kampanyen