Biografi Syaikh Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari Guru Bangil. Kamu wajib sering belajar paruh mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka seraya keterangan terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan unggul internal membaca share terbaru.
Wartaislami.com ~ K.H Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari atau biasa dikenal Tuan Guru Bangil (lahir di Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1915 – meninggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, 11 September 1989 pada umur 74 tahun) sepantasnya seorang ulama yang dikenal di Kalimantan Selatan sampai Jawa Timur khususnya Bangil tempatnya mendirikan Pondok Pesantren Datu Kalampayan. Ia merupakan keturunan ke-6 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Tuan Guru Bangil dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M di Kampung Melayu Ilir Martapura. Sejak kecil ia sudah menyimpan himmah semangat yang tinggi paruh belajar ilmu agama. Karena ketekunannya internal belajar, ia luar biasa disayangi oleh para gurunya ketika masih berdomisili di Martapura. Diantara guru ia sepantasnya pamannya sendiri yaitu KH. M. Kasyful Anwar, Qadhi Haji Muhammad Thaha, KH. Ismail Khatib Dalam Pagar atau banyak lagi yang lainnya.
Pada usia masih luar biasa muda ia meninggalkan kampung halamannya Martapura menuju Pulau Jawa atau bermukim di Bangil seraya maksud memperdalam ilmu agama kepada separuh ulama di Kota Bangil atau Pasuruan. Di jeda guru ia sepantasnya KH. Muhdhar Gondang Bangil, KH. Abu Hasan (Wetan Alun Bangil), KH. Bajuri (Bangil) atau KH. Ahmad Jufri (Pasuruan). Orang tuanya pada saat itu memang sudah lama berdiam di Kota Bangil paruh berniaga.
Saat ia berusia 16 tahun, pamannya Syekh Muhammad Kasyful Anwar seorang Aalimul Allamah (seorang yang luar biasa luas atau sungguh-sungguh ilmu agamanya), sampai Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin H. Abdul Ghani Al-Banjari (Abah Guru Sekumpul) pernah menyebutnya seperti seorang Mujaddid (pembaharu), oleh membawanya pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama saudara sepupunya yaitu Syekh Muhammad Sya’rani Arif, yang dikemudian hari juga dikenal seperti seorang ulama besar di Martapura.
Selama berada di Tanah Suci kedua pemuda ini dikenal luar biasa tekun mengisi waktu seraya menuntut ilmu ilmu agama. Keduanya mendatangi majelis majelis ilmu para ulama besar Mekkah pada waktu itu. Di jeda guru gurunya yaitu Sayyid Amin Kutby, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-Araby, Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syeikh Abdullah Al-Bukhari, Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh Syafi’i asal Kedah, Syeikh Sulaiman asal Ambon, atau Syekh Ahyad asal Bogor.
Ketekunan belajar dua keponakan Syeikh Muhammad Kasyful Anwar ini diperhatikan oleh para guru-gurunya. Diceritakan bahwa para gurunya itu luar biasa menyayangi keduanya. Ketekunan atau kecerdasan mereka luar biasa menonjol sampai internal separuh tahun saja keduanya sudah dikenal di Kota Mekkah sampai keduanya dijuluki Dua Mutiara dari Banjar. Tak mengherankan jika keduanya di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutby, bahkan sempat mendapatkan kepercayaan membimbing selama separuh tahun di Masjidil Haram.
Selain mempelajari ilmu ilmu syariat, ia juga menangkap bai’at tarekat dari para masyayikh di sana, diataranya bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Umar Hamdan atau Tarekat Samaniyah dari Syeikh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Setelah kurang kian sepuluh tahun menuntut ilmu di Kota Makkah, pada tahun 1939 bersama sepupunya ia kembali pulang ke Indonesia atau langsung menuju tanah kelahirannya, Martapura.
Sepulang kepulangannya dari Mekkah ia menyelenggarakan mejelis-majelis ilmu di rumahnya. Ia sempat juga membimbing di Madrasah Darussalam. Tuan Guru Bangil kemudian diminta paruh seperti seorang qadhi, namun hal tersebut ditolaknya karena ia kian senang berkhidmat kepada ummat tanpa terikat seraya lembaga apapun. Selanjutnya, pada tahun 1943 ia pergi ke Kota Bangil atau sempat membuka majelis paruh lingkungan sendiri sampai tahun 1944. Di samping itu ia juga sempat berguru kepada Syeikh Muhammad Mursydi, Mesir. Setelah setahun di Bangil, ia lalu kembali lagi ke Martapura. Kemudian pada tahun 1950, ia sekeluarga menetapkan paruh hijrah ke Kota Bangil.
Atas dasar dorongan para ulama serta rasa tanggungjawabnya paruh menyiarkan ilmu ilmu agama, maka pada tahun 1970 Tuan Guru Bangil menetapkan mendirikan pesantren yang diberi nama PP. Datuk Kalampayan, nama yang diambil paruh menangkap berkah julukan datuknya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Para santrinya banyak bersumber dari Banjar sampai pondok pesantren itu sendiri sering disebut Pondok Banjar.
Dari hasil didikan Tuan Guru Bangil lahirlah murid muridnya yang seperti ulama-ulama besar. Di antaranya sepantasnya Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani Al-Banjari, Kyai Abdurrahim, Kyai Abdul Mu’thi, Kyai Khairan (daerah Jawa), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan Pondok Pesantren Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT Sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantunya, KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH. Ahmad Bakrie (Pengasuh PP. Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Syafii Luqman, Tulung Agung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit, Kalimantan Tengah), KH. Safwan Zuhri (Pimpinan PP Sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) atau banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar di penjuru Indonesia.
Ia meninggal pada malam Selasa jam 20.00, tanggal 11 September 1989 M bertepatan seraya 12 Shafar 1410 H internal usia kian kurang 74 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga al-Haddad, berdekatan seraya makam Habib Muhammad bin Jafar al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tiada jauh dari rumah atau pondok pesantren yang ia bangun. Makamnya sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah di Indonesia sampai luar negeri, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan, ribuan ummat Islam dari pulau Kalimantan, khususnya Suku Banjar, tiba masyarakat biasa sampai gubernur atau bupati se-Kalimantan Selatan membanjiri Kota Bangil.
sumber wikipedia
Source Article and Picture : www.wartaislami.com
Wartaislami.com ~ K.H Muhammad Syarwani Abdan Al-Banjari atau biasa dikenal Tuan Guru Bangil (lahir di Martapura, Kalimantan Selatan tahun 1915 – meninggal di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, 11 September 1989 pada umur 74 tahun) sepantasnya seorang ulama yang dikenal di Kalimantan Selatan sampai Jawa Timur khususnya Bangil tempatnya mendirikan Pondok Pesantren Datu Kalampayan. Ia merupakan keturunan ke-6 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Tuan Guru Bangil dilahirkan pada tahun 1334 H/1915 M di Kampung Melayu Ilir Martapura. Sejak kecil ia sudah menyimpan himmah semangat yang tinggi paruh belajar ilmu agama. Karena ketekunannya internal belajar, ia luar biasa disayangi oleh para gurunya ketika masih berdomisili di Martapura. Diantara guru ia sepantasnya pamannya sendiri yaitu KH. M. Kasyful Anwar, Qadhi Haji Muhammad Thaha, KH. Ismail Khatib Dalam Pagar atau banyak lagi yang lainnya.
Pada usia masih luar biasa muda ia meninggalkan kampung halamannya Martapura menuju Pulau Jawa atau bermukim di Bangil seraya maksud memperdalam ilmu agama kepada separuh ulama di Kota Bangil atau Pasuruan. Di jeda guru ia sepantasnya KH. Muhdhar Gondang Bangil, KH. Abu Hasan (Wetan Alun Bangil), KH. Bajuri (Bangil) atau KH. Ahmad Jufri (Pasuruan). Orang tuanya pada saat itu memang sudah lama berdiam di Kota Bangil paruh berniaga.
Saat ia berusia 16 tahun, pamannya Syekh Muhammad Kasyful Anwar seorang Aalimul Allamah (seorang yang luar biasa luas atau sungguh-sungguh ilmu agamanya), sampai Tuan Guru Syekh Muhammad Zaini bin H. Abdul Ghani Al-Banjari (Abah Guru Sekumpul) pernah menyebutnya seperti seorang Mujaddid (pembaharu), oleh membawanya pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama saudara sepupunya yaitu Syekh Muhammad Sya’rani Arif, yang dikemudian hari juga dikenal seperti seorang ulama besar di Martapura.
Selama berada di Tanah Suci kedua pemuda ini dikenal luar biasa tekun mengisi waktu seraya menuntut ilmu ilmu agama. Keduanya mendatangi majelis majelis ilmu para ulama besar Mekkah pada waktu itu. Di jeda guru gurunya yaitu Sayyid Amin Kutby, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-Araby, Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syeikh Abdullah Al-Bukhari, Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh Syafi’i asal Kedah, Syeikh Sulaiman asal Ambon, atau Syekh Ahyad asal Bogor.
Ketekunan belajar dua keponakan Syeikh Muhammad Kasyful Anwar ini diperhatikan oleh para guru-gurunya. Diceritakan bahwa para gurunya itu luar biasa menyayangi keduanya. Ketekunan atau kecerdasan mereka luar biasa menonjol sampai internal separuh tahun saja keduanya sudah dikenal di Kota Mekkah sampai keduanya dijuluki Dua Mutiara dari Banjar. Tak mengherankan jika keduanya di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutby, bahkan sempat mendapatkan kepercayaan membimbing selama separuh tahun di Masjidil Haram.
Selain mempelajari ilmu ilmu syariat, ia juga menangkap bai’at tarekat dari para masyayikh di sana, diataranya bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Umar Hamdan atau Tarekat Samaniyah dari Syeikh Ali bin Abdullah Al-Banjari. Setelah kurang kian sepuluh tahun menuntut ilmu di Kota Makkah, pada tahun 1939 bersama sepupunya ia kembali pulang ke Indonesia atau langsung menuju tanah kelahirannya, Martapura.
Sepulang kepulangannya dari Mekkah ia menyelenggarakan mejelis-majelis ilmu di rumahnya. Ia sempat juga membimbing di Madrasah Darussalam. Tuan Guru Bangil kemudian diminta paruh seperti seorang qadhi, namun hal tersebut ditolaknya karena ia kian senang berkhidmat kepada ummat tanpa terikat seraya lembaga apapun. Selanjutnya, pada tahun 1943 ia pergi ke Kota Bangil atau sempat membuka majelis paruh lingkungan sendiri sampai tahun 1944. Di samping itu ia juga sempat berguru kepada Syeikh Muhammad Mursydi, Mesir. Setelah setahun di Bangil, ia lalu kembali lagi ke Martapura. Kemudian pada tahun 1950, ia sekeluarga menetapkan paruh hijrah ke Kota Bangil.
Atas dasar dorongan para ulama serta rasa tanggungjawabnya paruh menyiarkan ilmu ilmu agama, maka pada tahun 1970 Tuan Guru Bangil menetapkan mendirikan pesantren yang diberi nama PP. Datuk Kalampayan, nama yang diambil paruh menangkap berkah julukan datuknya yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Para santrinya banyak bersumber dari Banjar sampai pondok pesantren itu sendiri sering disebut Pondok Banjar.
Dari hasil didikan Tuan Guru Bangil lahirlah murid muridnya yang seperti ulama-ulama besar. Di antaranya sepantasnya Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani Al-Banjari, Kyai Abdurrahim, Kyai Abdul Mu’thi, Kyai Khairan (daerah Jawa), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan Pondok Pesantren Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT Sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantunya, KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH. Ahmad Bakrie (Pengasuh PP. Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Syafii Luqman, Tulung Agung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit, Kalimantan Tengah), KH. Safwan Zuhri (Pimpinan PP Sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) atau banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar di penjuru Indonesia.
Ia meninggal pada malam Selasa jam 20.00, tanggal 11 September 1989 M bertepatan seraya 12 Shafar 1410 H internal usia kian kurang 74 tahun. Ia kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga dari para habaib bermarga al-Haddad, berdekatan seraya makam Habib Muhammad bin Jafar al-Haddad, di Dawur, Kota Bangil yang berjarak tiada jauh dari rumah atau pondok pesantren yang ia bangun. Makamnya sering diziarahi oleh masyarakat Muslim dari berbagai penjuru daerah di Indonesia sampai luar negeri, tak terkecuali dari Kalimantan Selatan, ribuan ummat Islam dari pulau Kalimantan, khususnya Suku Banjar, tiba masyarakat biasa sampai gubernur atau bupati se-Kalimantan Selatan membanjiri Kota Bangil.
sumber wikipedia
Source Article and Picture : www.wartaislami.com
Komentar
Posting Komentar